Film | Theory of Everything dan Si Jenius dengan Selera Humornya
Sebetulnya,
akan lebih menarik ketika mengulas film ini saat ada momentum tertentu,
sehingga ada unsur kedekatan dan agak sedikit aktual, mengingat film ini
menceritakan tentang sosok. Pertanyaannya, kapan momentum itu datang? Ya nggak
tahu. Toh, sang sosok sudah meninggal di 2018 lalu. Kalau menunggu momentum,
terlalu lama atau bahkan mungkin sudah tidak ada. Siapa tahu? sedangkan saya
ingin sekali menuliskan Eddie Redmayne (berperan sebagai Stephen Hawking) dan
Felicity Jones (berperan sebagai Jane Wilde).
Untuk
informasi dasar tentang alur, tokoh, dan hal lainnya, Internet sudah
menyediakannya. Tinggal di cari saja. Jika malas, ini saya kasih link wikipedia
untuk informasi dasar filmnya. Tentang bagaimana kebenaran informasi di wikipedia,
silahkan verifikasi sendiri.
Terkait
film di flat form berlangganan, seperti Netflix, Iflix, HBO, Google Play Movie,
penilaian saya sederhana yaitu apakah film ini membuat saya betah menontonnya
dan enggan meninggalkan setiap adegannya. Sebab, ada waktu sekian menit atau
sekian jam yang harus dikorbankan untuk menontonnya. Kita tahu bahwa, waktu
adalah hal yang tidak bisa dikembalikan, sebuah cost yang besar. Tentunya, kita
semua berharap bahwa film yang kita tonton adalah film yang berkualitas.
Berkualitas menurut saya adalah sebuah film harus membuat kesan yang mendalam
bagi saya atau memberikan pelajaran. Titik ekstrim sebuah film itu dikatakan
berkualitas ketika sebuah film bisa merubah hidup, tingkah laku, sifat
seseorang. Tentu, penilaian ini personal. Tapi kira-kira begitu penilain film
bagi saya.
Kembali
ke The Theory of Everything, film ini cukup berkesan bagi saya. Spesifiknya,
saya terkesan dengan Jane Wilde. Meskipun saya tahu, film ini diadaptasi dari
memoar Jane akan Stephen Hawking. Namanya memoar, tentu saja dia akan
mengungkapkan apa yang membuatnya terlihat atau terkesan baik. Jika, ada hal
tidak baik atau terkesan tidak baik, tentu dia akan membantah atau memberi
penjelasan mengapa hal itu terjadi.
Oke. Film ini berarti dari sudut pandang Jane. Sederhananya, Jane adalah perempuan hebat. Mungkin jarang sekali manusia yang berani mengambil keputusan seperti Jane. Menikahi seorang mahasiswa yang divonis dengan penyakit motor neuron disease, sebuah penyakit yang membuat otot-otot Stephen dan sarafnya tidak berfungsi dengan baik. Bahkan penyakit itu membuatnya sulit bicara dan lumpuh. Terlebih, Stephen sudah diprediksi meninggal dalam dua tahun setelah muncul hasil diagnosanya. Meskipun prediksi itu salah.
Hebatnya lagi, Jane rela menikahi Stephen Hawking yang waktu itu masih mahasiswa dengan berpenghasilan yang rendah, tidak pula berasal dari keluarga kaya. Secara logis, banyak orang yang
tidak mau menikahi Stephen karena kondisinya. Tapi Jane berani. Apalagi
dasarnya kalau bukan karena cinta.
Setelah
menikah dengan Stephen, dia mengurus Stephen dan ketiga anaknya. Ini sama
seperti halnya Jane mempunyai empat anak. Ia melayani anak dan suaminya dengan
telaten. Kita tahu bahwa mengurus rumah tangga tidak mudah. Meski begitu, tidak bisa
dinafikan bahwa Jane adalah manusia dan mempunyai perasaan kesal dan bosan ketika mengurus Stephen. Ia pun berada pada titik lelah akan hidupnya karena harus mengurus
pekerjaan, anak-anaknya dan mengurus suami lumpuh. Suatu perbuatan mulia.
Seperti
itu cuplikan sederhana atas filmnya. Lagi-lagi, tentu saja, film ini dari perspektif Jane.
Angkat
Topi untuk Eddie Redmayne dan Felicity Jones
Berbicara
karakter, ada dua sosok yang membuat saya harus mengangkat topi dan berdiri
untuk bertepuk tangan. Mereka adalah Eddie Redmayne dan Felicity Jones. Eddie
Redmayne memerankan karakter Stephen dengan luar biasa. Saya pun setuju ketika
dia mendapat penghargaan di Academy Award dan Golden Globe Award. Gerakan-gerakan
detail seperti cara dia berjalan, memiringkan bibir saat berbicara, dan
memiringkan badannya saat duduk di kursi roda, sampai cara dia menggerakan
tangan, seolah itu benar-benar terjadi kepadanya.
Perannya
yang baik itu sampai membuat Stephen Hawking mengapresiasi Eddie ketika memenangkan
Golden Globe Award sebagai Aktor Terbaik. “Dia terlihat seperti saya,
bertingkah seperti saya, dan punya selera humor saya,” Kata Stephen Hawking
sambil mengunggah fotonya Bersama Eddie.
Di lain
kesempatan, Stephen juga mengucapkan selamat kepada kloningannya. “Selamat
kepada Eddie Redmayne atas kemenangannya di #Oscar karena memerankan saya
di The
Theory of Everything Movie. Kerja yang bagus, Eddie, saya sangat
bangga padamu. -SH," tulisnya.
Meski begitu, saya sedikit menduga-duga saja. Apiknya
peran Eddie dalam film ini mungkin saja
karena sosok yang ia perankan masih hidup, nyata, dan tergambar jelas. Oleh karena
itu sudah sepantasnya ia berakting bagus dan meraih penghargaan. Berbeda ketika
seorang aktor memerankan tokoh imajiner yang mana tidak ada acuan yang jelas. Mungkin
peran ini akan menjadi lebih sulit karena sang aktor harus menginterpretasikan
ulang karakter imajiner tersebut yang mana interpretasi tersebut belum tentu bisa tersampaikan dengan baik.
Menurut
saya, trade off ketika Eddie berperan sebagai Stephen sangat
jelas. Dia bisa berperan sangat memukau atau dia akan berperan buruk. Tidak ada
pilihan sedang atau biasa saja. Bagi saya, akting biasa saja atau sedang sama
saja dengan buruk dalam kasus ini. Mengapa? Tentu saja, Eddie mempunyai
referensi yang jelas dan nyata. Bahkan ia bisa bertanya langsung kepada tokoh
aslinya. Tokoh aslinya pun terkenal sehingga banyak penggambaran yang jelas dari
segala bentuk media, baik suara, gambar, maupun tulisan. Di sini kesungguhan
Eddie akan diuji.
Ya tentu
saja, ini penilaian saya, entah benar atau salah, saya tidak tahu. Toh saya
bukan aktor, saya hanya ingin memberi sedikit ulasan saja. Tapi saya yakin, tanpa
mengurangi rasa hormat, setiap aktor punya kesulitannya masing-masing dalam
suatu peran.
Selain Eddie, Felicity Jones pun memainkan perannya dengan mengagumkan. Mimik muka yang terlihat sabar membuat saya seperti merasa kasihan dan iba. Aktingnya ketika dia harus menahan amarah, rasa bosan dan kesal atas prinsipnya Stephen yang keras membuat saya merasakan suatu pergulatan hati. Menahan marah itu tidak mudah. Marah pun jauh lebih sulit dari menahannya.
Ada sedikit hal yang saya sayangkan atas penilaian banyak orang akan kedua pemeran hebat ini. Orang-orang di luar sana memberi perhatian lebih pada aktingnya Eddie. Felicity hanya mendapatkan perhatian sedikit di bawah Eddie. Padahal, menurut saya, mereka berdua harusnya berada dalam level yang sama. Jika Eddie pandai menirukan gerakan-gerakan detail dari Stephen, Felicity mengirimkan perasaan-perasaan kepada penontonnya dari peran yang ia mainkan. Paduan ini sangat ciamik.
Tentang
Si Jenius dan Selera Humornya
Ketika
saya melihat film ini, ada bagian-bagian film yang agak jenaka. Tidak terlalu
banyak, tapi cukup. Tentu saja, film ini bukan film komedi. Namun adanya adegan
jenaka membuat film ini seperti merepresentasikan karakter Stephen itu sendiri dengan
selera humornya. Theory of Everything adalah Stephen Hawking.
Seperti halnya
pada adegan ketika Stephen diminta oleh orang tuanya untuk menyewa perawat
untuk mengurusnya. Namun Stephen menolak karena keluarga kecilnya tidak
memiliki banyak uang. Namun ayahnya bersikeras meminta Stephen untuk mencari
perawat karena orangtuanya menyadari bawah Stephen sudah menjadi orang yang
dikenal di seluruh dunia. Jawaban Stephen sederhana, ”Terkenal karena
black holenya bukan karena konser rock,” ujarnya sambil mencoba mencandai orang
tuanya yang sangat serius. Ia tahu bahwa teorinya yang terkenal tidak melulu membuatnya
banyak uang.
Adegan jenaka
lainnya yaitu ketika Jane Marah kepada Stephen di dalam mobil, tapi Stephen malah mengadu
kepada anaknya dan mengatakan bahwa “Lihat, Ibumu marah kepadaku,” ujarnya
ketika Jane berada di puncak kekesalannya karena Jane menyadari bahwa keluarga
mereka bukan keluarga yang normal.
Adegan lainya yaitu ketika dalam seminar, ada seorang penanya yang menanyakan bagaimana cara Stephen menghadapi popularitas. Lalu Stephen menceritakan pengalamannya di Cambridge. Ia mengatakan bahwa, baru-baru ini, dia dihentikan oleh turis di Cambridge. Lalu sang turis bertanya kepada Stephen, “apa anda Stephen Hawking?” Stephen Menjawab “yang asli jauh lebih tampan,” ujar Stephen.
Mungkin adegan-adegan kecil nan sederhana ini menjadi tanda dan seolah berpesan, bagaimanapun, seorang professor jenius, yang terkenal di dunia dengan teori yang banyak diperbincangkan orang, juga memiliki selera humor yang baik. Ini menjadi satu poin plus yang membuat saya tersenyum-tersenyum sendiri ketika menyaksikannya
Filosofi
Hidup Stephen
Film ini
diakhiri dengan manis dalam adegan bagaimana falsafah hidup untuk orang yang
dianggap tidak percaya pada Tuhan. Ada seorang pria bertanya kepada Stephen, “Anda nggak percaya tuhan, apa anda
punya falsafah hidup?” tanyanya.
Jawaban Hawking adalah “… Kita semua beda,
walaupun kehidupan tampak buruk, selalu ada hal yang bisa kita lakukan dan
sukses. Selama ada kehidupan, maka ada harapan,” katanya.
Ini menjadi salah satu quote yang sangat menarik bagi saya dan menjadi closing statement yang indah dalam film ini.
Sumber Gambar : freepik.com (link)
0 Comments