Film | Guru-Guru Gokil dan Ekspektasi yang Tidak Tercapai
Saya baru saja menonton film Indonesia berjudul
"Guru-Guru Gokil" atau "Crazy Awesome Teacher" di kanal Netflix.
Dari film tersebut, saya berniat untuk membuat reviewnya untuk mengisi rubrik
ulasan di blog. Tapi, setelah saya berselancar di internet, sudah terlalu banyak
ulasan/review atas film ini. Agak sedikit bete jadinya. Padahal,
film ini akan menjadi ulasan pertama di blog saya. Salah saya sendiri sih,
kenapa baru nonton tanggal 21 Agustus 2020.
Sebetulnya, sudah terbayang beberapa catatan atas
film ini dan saya berencana untuk menuliskannya macam kritikus film. Saya sudah
sedikit-banyak meninjau beberapa aspek yang nantinya akan menjadi catatan atas
film ini. Namun, jika saya menuliskannya dengan style seperti itu, mungkin
tulisan ini akan menjadi tulisan repetisi saja dari tulisan yang sudah ada.
Jadi ya sudahlah, saya menulis sekenanya saja. Hitung-hitung mengisi rubrik.
Saya tahu film ini saat saya
menonton wawancara Dian Sastro di kanal youtube Magna Talk. Pada wawancara
tersebut, dia mengemukakan proyek film pertamanya sebagai produser dan
membocorkan sedikit film tersebut. Saya tidak terlalu menunggu filmnya, tapi saya
mengingat-ingat saja bahwa nanti akan ada film ini di bioskop sebelum akhirnya menjadi film Netflix. Dian menjelaskan
bahwa tema yang diambil di filmnya adalah tema pendidikan dan menyangkut
profesi guru. Cukup menarik bagi saya. Dari wawancara Dian sastro itu, saya
punya harapan lebih akan filmnya tentang apa yang dilakukan guru-guru tersebut.
Film ini diawali dengan premis yang menarik. Seorang
pemuda desa bernama Taat Pribadi (Gading Marteen) memandang bahwa uang adalah
sumber kebahagiaan sehingga hal yang dia paling suka di dunia ini adalah uang. Kemudian,
premis itu dibenturkan dengan kondisi hidupnya sebagai anak seorang guru yang
berpenghasilan rendah. Atas dasar ini, Taat sangat tidak suka dengan profesi
guru dan mencoba mencari peruntungan dengan merantau ke kota meskipun orang tua
Taat (Arswendi Bening Swara) melarangnya.
Taat menilai bahwa uang adalah kunci sehingga ia
memiliki harapan yang besar saat merantau. Segala jenis pekerjaan dia coba. Mulai
dari menjadi Master of ceremony (MC), pelayan di rumah makan sampai tukang
sulap. Namun, cerita tentang kota yang katanya “apa saja bisa dijadikan uang,”
tidak berlaku padanya. Janji-janji manis di perantauan tidak dia dapati setelah
10 tahun mengadu nasib. Hasilnya nihil.
Ia pun akhirnya pulang ke desa dengan sambutan yang
kurang baik dari bapaknya. Di desa, Taat pun mencoba mencari pekerjaan sampai
akhirnya ia mendatangi sebuah agen penyalur pekerjaan. Di agen tersebut, Taat
dijanjikan mendapat pekerjaan di kapal pesiar dengan iming-iming gaji yang
besar dan akan singgah di banyak negara. Bayang-bayang kekayaan dan ketenaran sudah
hinggap di kepalanya. Tentu saja, untuk mewujudkan itu, ada modal awal yang
harus dikeluarkan untuk urusan administrasi dan perizinan. Nominalnya pun
besar. Sembari menunggu Taat mengumpulkan uang, karyawan agen tersebut
merekomendasikan Taat untuk bekerja di sebuah sekolah sebagai guru pengganti.
Sebuah pekerjaan yang sangat dijauhi olehnya karena penghasilan seorang guru
tidak seberapa seperti penghasilan bapaknya. Dari sini segala cerita
petualangan Taat dimulai. Untuk lebih jelasnya, silahkan menonton sendiri.
Ketika saya menonton film ini, ada adegan yang relate
ke diri saya ketika bapaknya Taat memberi
wejangan kepadanya tentang kata prihatin. Saya sebagai manusia yang dikelilingi
oleh orang-orang yang berprofesi guru, sangat kenal dengan kata prihatin ini.
Terlebih saat saya masih kanak-kanak yang mana, saat itu, profesi guru adalah
profesi dengan penghasilan yang tidak besar. Profesi guru belum mendapat
perhatian lebih dari pemerintah, sehingga pendapatan sebagai seorang guru masih
bisa dikatakan cukup, jika tidak dibilang kecil. Ibu saya, yang berprofesi
sebagai guru, sangat sering memberi wejangan untuk hidup prihatin dan sederhana.
Hal ini yang membuat saya langsung merasa tersentuh saja mendengar kata
prihatin yang keluar dari seorang guru.
Meskipun saya tau, sekarang ini, profesi guru sudah
menjadi incaran karena pemerintah menggelontorkan dana yang besar untuk
pendidikan. Ibu saya pun mengakui bahwa kesejahteraan guru sudah mulai membaik
dengan penghasilan yang bisa dikatakan cenderung tinggi. Tapi guru yang saya
maksud di sini, konteksnya adalah guru yang bekerja di perkotaan dan berlabel Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Jika tidak PNS, wah pahit. Saya mendengar banyak cerita
terkait guru non PNS. Saya jadi berpikir, bagaimana nasib guru-guru yang bukan
PNS dan mengajar di daerah kecil. Wah, mungkin mereka adalah orang-orang mulia.
Sehabis menonton Guru-Guru Gokil, saya merasa ekspektasi saya tidak tercapai. Ini tidak seperti yang saya
bayangkan ketika Dian Sastro mempromosikan film ini. Sejujurnya, gurunya tidak
segokil itu. Ini perspektif saya. Mungkin konteks gokilnya adalah ketika para
guru ini mencoba mengambil kembali uang sekolah yang dicuri penjahat. Kalau
menurut saya, gambaran guru yang gokil adalah Dewey Finn di film school of rock. Ya tapi
terlalu jauh membandingkan kegokilan Jack Black dengan Gading Marteen. Kegokilan Gading tuh sudah paling pas di film Love for Sale.
Kalau saya tidak salah, latar lokasinya adalah wilayah Bogor dan sekitarnya karena saya melihat adegan saat Pak Manul (Boris Bokir) mengendarai sebuah mobil bermerek Mercedes dengan flat mobil berawalan F. Jika latar tempatnya adalah daerah Bogor dan sekitarnya. Logat sundanya masih kurang kental. Logat sunda cuma dipakai oleh Nirmala (Dian Sastro) dan itu pun hanya beberapa adegan tertentu. Bahkan orang tua Taat pun tidak terlalu menggunakan logat sunda. Begitu juga dengan Taat. Meskipun dia sudah merantau 10 tahun, tidak serta merta logat sundanya tiada. Ada penekanan intonasi dan nada yang unik dari setiap kata yang dikeluarkan dari logat sunda. Bahkan untuk kata-kata yang berbahasa Indonesia secara umum. Terlebih karakter anak-anak murid yang bersekolah di sana seperti kurang “Sunda” dari gaya bicaranya.
Selain itu, saya masih percaya di daerah yang dengan flat nomor F itu masih banyak sekolah yang berdiri di tengah sawah dengan bangunan sekolah memanjang seperti itu. Saya juga nggak tahu sih, tapi apakah masih, sekolah-sekolah yang berada di daerah flat nomor F itu, masih menggunakan kapur dan papan tulis hitam? Seingat Saya, di film itu nggak digambarkan latar waktunya. Jadi Saya anggap saja bahwa latar waktunya adalah tahun 2019/2020. Oleh karena itu, saya agak ragu kalau alat tulis di film itu masih menggunakan kapur. Ya mungkin masih ada di Indonesia Tengah ataupun Timur. Tapi untuk di daerah dengan flat nomor F? Di sisi lain, guru-guru dan muridnya sudah menggunakan telepon pintar, berarti, menurut saya, hal itu tidak terlalu pedalaman. Tapi ya, mungkin masih ada, keterbatasan lingkup saya saja yang membuat saya tidak tahu.
Satu lagi, Saya ingat adegan
Nirmala sedang mengendarai mobil. Nirmala, dalam film ini dikisahkan sebagai seorang perempuan
yang mudah terdistraksi dan mudah lupa. Ia ditinggalkan oleh suaminya saat
sedang hamil. Dalam film itu diceritakan bahwa Nirmala memiliki hutang sehingga
ada debt collector (Penagih hutang) datang kerumahnya. Karena penagih
hutang tersebut tidak menemukannya, jemuran rengginang di rumahnya dihancurkan.
Dari kondisi hidup seperti ini, Saya agak sedikit bertanya, apa Nirmala
seharusnya bisa mengendarai mobil dengan lancar? Rumah Nirmala pun berada di
sebuah desa yang akses mobilnya cukup sulit.
Di sisi lain, saya suka dengan tata rias wajah Nirmala
di film ini. Nirmala yang sedang hamil itu digambarkan memiliki banyak jerawat.
Namun ketika dia selesai melahirkan, wajahnya bersih. Sepengetahuan saya, banyak ibu-ibu
yang mengalami hal seperti ini ketika sedang hamil. Detail seperti ini lumayan
menarik untuk saya.
Overall, alurnya asyik meskipun banyak cerita dan
adegan yang terkesan dipaksakan. Saya pun menonton filmnya sampai habis. Ketertarikan
saya masih ada untuk menonton filmnya sampai habis dan saya tidak meninggalkan
filmnya ditengah pertunjukan. Ya walaupun saya sering kasih jeda. Ada beberapa
film yang membuat saya sayang untuk melewatkan sebuah film, bahkan untuk buang air
kecil, karena film tersebut sangat menarik. Tapi film ini tidak membuat saya
seperti itu dan saya merasa tidak apa-apa untuk meninggalkannya.
Sejujurnya, film ini kurang
berkesan untuk saya, entah mengapa. Dibilang jelek, tidak jelek. Dibilang
bagus, ya biasa aja. Tapi dari semua itu, ada spirit yang positif dari film ini
karena membawa tema profesi mulia yaitu guru di daerah pedesaan dengan penggambaran
hidupnya yang sederhana.
“Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Profesor dokter insinyur pun jadi
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri.”
Sekian.
22/08/2020 15:40
Ruang Sunyi
Sumber Gambar: imdb.com (link)
0 Comments