Violinis
Jika
kau hendak mengetahui keadaan hatinya, maka dengarkanlah permainan biolanya.
Kau akan merasakan perihnya hidup saat untaian nada kesedihan keluar dari
biolanya dan membuat kau seperti berada dalam sebuah pesta bila nada itu
menyebarkan kebahagiaan. Tapi dengan catatan, dia tidak sedang pentas karena ketika
pentas, terkadang ia bersandiwara untuk menghibur penonton.
Begitulah
Jo, sahabatku yang menumpahkan keadaan hatinya melalui biola. Ia jarang
bercerita tapi dengan mendengarkannya bermain biola, aku tahu apa yang
menyelimuti hatinya karena nada yang keluar dari biolanya seolah membentuk
suatu alur cerita.
Dulu,
ia pernah memainkan biola dengan nada yang merefleksikan kegembiraan. Aku yang
berada didekatnya menyeringai tanpa sadar dan hatiku layaknya berada pada sebuah
taman. Menyenangkan.
Ajaibnya,
seusai bercengkrama dengan biolanya, sebuah tawaran pentas datang dari suatu event organizer. Aku tak tahu bagaimana
dia bisa mendapat tawaran itu, ia tak mau menuturkannya padaku.
“Nanti
jika aku sudah terkenal, kau saja yang menjadi manajerku, Zak? Haha,” ucapnya
dengan nada yang begitu gembira seusai pentas.
“Bisa.
Bisa,” ucapku.
“Nanti
kau yang mengurus semua jadwal manggungku, haha,” katanya
“Kau
jangan terlalu banyak bermimpi. Benahi dulu permainanmu,” ujarku sambil tertawa.
Seperti itulah rasanya ketika nada kegembiraan menjalar dari biolanya.
Berbeda halnya ketika ia sedang
galau. Nada-nada resah merayap pelan namun terasa melukai hati. Kegalauannya
menjadi hal nyata tatkala kekasihnya berpaling pada pria yang lebih mapan. Saat
itu Jo belum populer sehingga kekasihnya mengangapnya hanya pemuda tak berguna.
Tapi Jo tak butuh waktu lama untuk menghapus lukanya. Ia hanya butuh memainkan musik klasik yang tenang.
Lain halnya jika memainkan lagu
sedih. Ia selalu takut. Ada perasaan cemas dalam hatinya jika nada kesedihan
keluar. Tetapi bila ia tidak memainkan, tubunya seperti ada yang menarik.
Semakin ia berusaha menghindar, semakin hatinya tertekan hingga tubuhnya
melemas tak bertenaga. Jantungnyapun berdegup cepat. Waktu itu, Jo pernah memainkan
lagu kesedihan sepanjang malam. Sampai ia lelah dan tertidur. Setelah itu ia
memainkan nada itu, kakek Tuna netra yang mengajarinya bermain biola, meninggal
dunia.
***
Kepandaiannya
menggesek biola, sudah dikenal banyak orang sehingga bayarannya pun menjadi mahal.
Aku sebagai manajernya tak perlu lagi bersusah-payah mengorbitkannya karena
kemampuannya yang membuat penggemar rindu akan setiap pertunjukan yang
eksklusif. Aku hanya bertugas mengatur jadwal dan jumlah bayarannya.
Masih
belum hilang dari ingatanku saat pertama kali ia tertarik pada alat musik gesek
itu. Waktu itu, kami sedang menelusuri pasar Blok M, ia melihat seorang kakek
tuna netra bermain biola dengan begitu indah dan Jo hanya terdiam menyaksikannya
sampai pada akhirnya jatuh hati pada alat musik itu.
Biola
pertamanya dibeli di pasar yang menjual segala macam barang bekas sehingga ia tak
perlu merogoh kocek dalam-dalam. Kegigihannya dalam memperlajari alat musik itu
mambuatku salut. Bayangkan saja, hampir setiap buku yang berkaitan dengan biola
dibelinya. Selain itu, setiap video, penampilan di televisi sampai konser,
sebisa mungkin ditonton demi bisa memahami alat musik itu. Pembicaraanya pun
tak jauh dari biola dan nama-nama musisinya yang tak kukenal.
“Jika
mau ditonton, kita harus nonton,” ujarnya saat mengemukakan prinsipnya padaku.
Oleh karena itu ia selalu memberi apresiasi terhadap Violinis tanpa memandang
genre musik yang dimainkan.
Sosok
yang paling berpengaruh dalam bakatnya bermain musik adalah kakek tuna netra
itu. Ia nekad menghadang kakek itu ketika hendak pulang. Untung saja kakek itu
menerima dan mau mengajarkannya. Hampir setiap hari ia berlatih dan dengan
sabar sang kakek mengajarkannya selama lima tahun.
Oleh
sebab itu, ia merasa kehilangan yang hebat ketika ia tahu sang kakek meninggal.
Kesedihannya semakin mendalam ketika ia tak bisa mengikuti prosesi pemakamannya
karena tertidur lelap sehabis memainkan biola bernada kesedihan sepanjang malam.
***
Tak
ubahnya seperti kehilangan lelaki tua itu, sudah beberapa hari ini, nada-nada
yang keluar dari biolanya masih berkisar menganai kesedihan. Aku mendengar itu ketika
aku tak sengaja ingin mengambil telepon genggamku yang tertinggal di kamarnya. Saat
mendengarnya, Aku merasa ada yang menggumpal di dadaku dan ingin segera
kukeluarkan. Sampai akhirnya, satu, dua tetes air keluar dari mataku. Aku tak
jadi masuk dan menunggu besok.
Keadaan
hatinya sampai-sampai mengganggu penampilannya. Aku tak percaya. Yang aku tahu,
Jo adalah orang yang tak ingin mengecewakan siapapun, terlebih para penonton
yang ingin menyaksikan pertunjukannya.
“Ini
bisa berakibat buruk pada karirnya,” pikirku. Pasalnya, pertunjukannya kali ini
di tonton banyak musisi kelas atas. Tapi ia tampil tak seperti layaknya Jo yang
selalu menjiwai setiap penampilannya.
Aku
tak habis pikir, sudah pertunjukan ketiga ia berpenampilan mengecewakan. Dan
sekarang penampilannya pun memburuk, entah apa yang mengganggunya. Nada-nada
yang keluar saat tampil terkadang tak selaras dengan lagu yang dibawakan.
Ekspresinya datar, padahal dia memainkan lagu yang gembira. Ia seperti tak
berniat berada di atas panggung.
Pertunjukan
berakhir buruk.
“Eh, apa yang kau lakukan, kenapa
kau bermain begitu buruk,” ujarku.
“Aku sedang tak ingin tampil.”
“Seharusnya kau bilang. Ini bisa
bisa berakibat buruk pada karirmu.”
“Aku tak perduli.” Jo pergi begitu
saja tanpa memperdulikanku.
“Hei,
kau masih punya satu pertunjukan lagi.” Jo
tak perduli dengan ucapanku hingga kuikuti dia ke mobil. Mobil yang dikendarainya
keluar dari parkiran. Aku melihat ketakutan pada bola matanya yang hitam.
“Bukankah
kau tahu tentang keadaan hatiku,” tutur Jo.
“Tapi
kau masih punya satu pertunjukan lagi. Jika kau tak tampil, kita bisa terkena
denda. Bagimana dengan penggemarmu, Jo? Ayolah, hadiri. Kau punya kontrak? Hpku
sudah berdering berkali-kali?”
“Berisik,
aku tidak mood,” suaranya meninggi. Baru pada saat itu aku mendengar ia dalam
keadaan marah. “Kau kan manajerku, uruslah itu,” ucapnya dengan wajah merah.
“Ayo
lah Jo, satu pertunjukan lagi?” Selama setengah jam aku membujuknya tanpa henti
dan ia pun tetap pada pendiriannya. Hingga pada suatu tempat ia memberhentikan
mobilnya dan menghadapkan wajahnya ke arahku.
“Sekarang
kau keluar,” ucapnya mendadak. Aku sontak kaget mendenger itu dan tak
berkata-kata lagi. Pintu telah dibuka olehnya dari dalam. Ia pun melengos
menghadap depan. Aku keluar dengan rasa
yang bercampur aduk, antara marah, kesal, dan kecewa.
Ketika
pintu kututup, mobil melaju cepat. Aku jadi berpikir tentang keadaan hatinya. Pikiranku
masih berputar pada nada-nada sendu yang sudah berhari-hari kudengar. Yang
sudah mengocok perasaanku hingga aku menjadi orang cengeng. Aku tahu ada hal
yang menyedihkan bila nada sedih terlantun dari gesekan dawai biolanya.
Pikiran
ini buruk berputar dalam kepalaku. Ada cemas yang muncul dalam hati. terlintas
olehku, orang tua Jo yang terserang penyakit berat. Aku juga mengkhawatirkan
keadaan Jo yang sedang tak bagus karena terlalu sering mengkonsumsi alkohol.
Akhirnya,
aku memberhentikan taksi untuk mengejernya. Supir itu kusuruh memacu
kendaraannya secepat mungkin agar aku bisa bertemu dan meminta maaf tentang apa
yang telah kupaksakan.
***
Di suatu gedung pertunjukan, Jo
perlahan memainkan biolanya dengan memejamkan mata, menghayati setiap nada-nada
yang keluar bersama angin. Tanpa terasa tetes demi tetes air membasahi tubuh
biola lalu jatuh ke lantai. Nada-nada yang keluar menceritakan suatu masa yang
telah berlalu tanpa bisa terlupakan dan akan terus membekas. Seperti jahitan
luka akibat sayatan busur biola yang merobek hati.
Jo tak terlihat bersandiwara dalam
pertunjukan ini. Penampilan pun mengundang tangis penonton pada suatu
pertujukan yang berjudul Untuk Sahabatku,
Zak. Pertunjukan ini digelar untuk mengenang kematian sahabat sekaligus
manajernya yang meninggal saat berada di dalam taksi yang melaju dengan
kecepatan tinggi. Tepat sebulan yang lalu.
12.14
25/07/2012
12.14
25/07/2012
0 Comments