Tersasar di Kaki Gunung Semeru
Keinginan dan harapan telah terkumpul menyesaki dada, telah
mengkristal dalam hati, dan ada rasa yang tak utuh bila perjalanan itu hanya
sampai di pertengahan. Meski pernah terbesit pemikiran pesimis dan ragu dalam
kepala. Kami berjalan dengan modal keberanian, karena kami tahu jika kami lebih
lebih berani dari apa yang kami tahu.
Keberanian inilah yang akhirnya
membawa saya, Willy, dan Syarif pada suatu perjalanan yang tak pernah diduga. Setelah
menghabiskan dua malam di Pulau Sempu sambil menimati keindahan yang dibuat
Tuhan, serta merenungkan rasi bintang yang ternyata tak berubah tiap malam,
kami bertolak menuju Probolingga dengan sedikit informasi menuju kota itu.
Sebelumnya , Kami bertiga berbenah di
Sendang Biru supaya segar saat melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan kami, yaitu Gunung Bromo. Seluruh tubuh kami bersihkan
karena di pulau sempu, kami hanya mandi dengan air asin. Kami memang tak ingin
menggunakan sabun atau pasta gigi, biarlah semua menggunakan pembersih yang alami
meski badan ini terasa lengket dan berpasir. Walau kami melihat dengan
pasrah ketika ada pengunjung yang dengan santai menggunakan sampo dan
membilasnya di danau Segoro Anakan.
Selesai berbenah, mobil yang menuju
ke arah Turen sudah menunggu. Saat mobil hendak jalan, saya bertingkah bodoh
mencari Handphone yang ternyata ada
dikantong belakang bersamaan dengan dompet. Setelah itu saya di baiat oleh
Syarief dan willy dengan sebutan Kolup, entah apa maksudnya, hanya mereka yang
tahu.
Di dalam mobil itu, kami mendapat
tempat yang agak lumayan, tak seperti pertama datang. Tempat yang nyaman itu membuat Willy langsung saja tertidur ketika mobil baru jalan sebentar. Mungkin dia memang begitu, Hampir setiap dalam mobil angkutan dia tertidur
dan terkadang mengigau. saya dan syarif hanya tertawa melihatnya.
Ternyata perjalan sejauh 43KM dengan kecepatan tak lebih dari 60KM/jam serta angin segar sepoi-sepoi, membuat saya dan syarief juga mengantuk. Saya pun terlelap sejenak dan
terbangun pada saat mobil ini sudah hampir sesak dipenuhi penumpang. Meski begitu,
mau tak mau saya nikmati saja keadaannya. Hebatnya, willy masih saja pulas
tanpa terusik.
Sampai di pertigaan daerah Turen,
kami turun dan menuju masjid untuk sejenak beristirahat. Lalu, entah kenapa, ada
dua laki-laki yang sudah berumur mendatangi kami. Ternyata mereka adalah tukang
ojek yang menawarkan jasanya kepada kami. Kami yang hanya tahu sedikit tetang
daerah ini hanya mengangguk apa yang mereka iming-imingi. Lalu kami pergi
meninggalkan kedua tukang ojek itu dan menuju rumah makan.
Dalam rumah makan, kami berunding
untuk menentukan bagimana caranya mencapai probolinggo. Kami bertanya kepada penjaga
warung. Tetapi penjaga warung pun tak tahu rute menuju probolinggo. kami pun
bertanya pada konsumen rumah makan itu, dan kami diberi jawaban yang lemas. “Kalau
daerah tumpang jauh mas, mobil sudah jarang, apalagi kalau sudah sore begini. Kalau
mas jalan sekarang kira-kira sampai sana malam,” ucap pria itu. Akhirnya kami
pun termakan perkataan tukang ojek itu yang menjanjikan jalan pintas yang
cepat sehingga tak perlu sampai malam. selain itu tukang ojek berjanji akan mengantar sampai daerah yang sudah
dekat dengan tujuan kami. Konsokuensi logisnya harganya sangat mahal.
Diantarlah kami bertiga menggunakan
ojek. ketika melihat marka jalan, ternyata memang puluhan KM jauhnya. Kami
diantar dengan kecepatan yang lumayan tinggi dan kami sampai sebelum pukul lima di daerah Tumpang. Merekapun
langsung menunjuk angkutan umum yang menuju Bromo. Namun saat turun
kami disambut oleh tukang ojek pula. Saat kami berbincang ternyata angkutan itu
tidak mengarah ke Bromo. Betapa sesak mendengar kabar itu. Tukang ojek itu pun
memberitahu rute yang mudah mendapatkan mobil untuk menuju bromo, namun itu
sangat jauh dan kami harus kembali ke Argosari. Jalan tengahnya, tukang ojek
itu menawarkan jasanya, namun harganya sangat mahal sekali.
Karena habis dikelabuhi tukang ojek,
kami skeptis akan perkataan tukang ojek di daerah Tumpang. Kami berjalan-jalan
untuk bertanya ke orang lain. Saat tak tahu apa lagi yang harus kami lakukan,
kami melihat semobil truk berhenti dengan membawa orang-orang bertas besar yang telah usai
mendaki Gunung Semeru. Kami pun bertanya-tanya. Mereka pun tak tahu. Akhirnya, kami
temui supirnya dan bertanya, ternyata harganya sama saja dengan kami menyewa
mobil Hartop. Lalu ada truk lewat di
hadapan kami. Oleh supir truk itu kami di rekomendasikan untuk ikut dengan
temannya ke arah Ranu Pani dengan ongkos yang lumayan.
Dengan banyak pertimbangan, kami pun
ikut truk pupuk itu menuju Ranu Pani dan meningalkan tukang ojek yang
mengiming-imingi kami. Kami ahirnya memilih menuju desa Ranu Pani karena supir
truk itu memberi harapan dengan mengatakan “Mudah-mudahan di Ranu Pani ada
teman untuk menyewa Hartop.” Dengan keyakinan
itu lah kami ikut truk pupuk itu. Setidaknya, jika tidak dapat teman, kita bisa menikmati danau Ranu Pani.
Truk hanya memuat tiga orang,
yaitu supir dan dua penumpang. Karena tak cukup, akhirnya Syarif naik
di atas truk berbarengan dengan pupuk yang dibawa truk. Di tengah jalan truk
berhenti, akhirnya kami berdiskusi lagi dan hasilnya ialah Willy harus melobi
supir truk agar mau mengantar kami ke Bromo. Dan saya pun menemani Syarief di
atas truk karena kasihan dengannya. Saat saya berpindah dari ke atas truk, supir itu berkata. "Orang Jakarta yang ingin merasakan naik di atas truk." Padahal niat saya hanya ingin menemani Syarief.
Sepanjang perjalalan, saya dan syarief
jarang berbicara karena anginnya begitu kencang. Sampai akhirya malam datang merambat menggantikan sore. Truk
memasuki daerah yang sepi dengan jalanan yang menanjak. Saya dan Syarif semakin
kedinginan di kegelapan malam.
Truk menuju ke jalan yang jarang dilalui jika malam. Kupandangi sepanjang jalan itu, ternyata kanan dan kirinnya adalah jurang terlebih jalanan itu tanpa penerang sehingga perjalanan terasa sangat jauh karena truk berjalan pelan akibat jarak pandang yang pendek. Selain itu, jalan ini hanya muat untuk satu truk saja. Jadi, jika berpapasan dengan kendaraan lain, truk harus berhenti. uniknya jika berpapasan dengan truk atau Hartop ataupun sepeda motor, supir truk ini akrab dengan pengemudi yang ditemuinya di jalan.Tebersit ketakutan dihati saya melihat rute truk ini, terlebih ketika truk bergoyang-goyang hebat takkala melintasi jalan yang berbatu. diperjalan itu saya banyak beristigfar karena takut.
Udara semakin dingin karena kami mengira embun sudah mulai turun. Saya dan Syarief diterjang oleh kabut itu di atas truk sampai menggigil. Saat berhenti diperjalanan, willy memberikan jaketnya kepada dan lekas saja tangan syarief menarik jaket itu untuk menutupi kepala kami berdua. Anehnya ditengah dingin seperti itu saya mengantuk dan syarief sudah tidur terlebih dahulu di atas truk. Sampai akhirnya kami tiba di desa Ranu Pani, kaki gunung semeru. Kami diturunkan dengan keadaan menggigil ditempat para pendaki bermalam sebelum mendaki Gunung Semeru.
Jika kami melihat medan yang dilalui menuju Ranu Pani, saya beruntung karena tidak menggunakan ojek. Pasalnya, track yang dilalui sulit, selain itu kami tak membayangkan apa jadinya tubuh kami jika menaiki ojek dengan kondisi jalanan dan cuaca yang ada. Selain itu kami merasa kasihan kepada tukang ojek di Tumpang jika mereka mengantarkan kita. Meski uangnya Mahal, tetap saja akan menyiksa kami dan tukang ojek itu.
Truk menuju ke jalan yang jarang dilalui jika malam. Kupandangi sepanjang jalan itu, ternyata kanan dan kirinnya adalah jurang terlebih jalanan itu tanpa penerang sehingga perjalanan terasa sangat jauh karena truk berjalan pelan akibat jarak pandang yang pendek. Selain itu, jalan ini hanya muat untuk satu truk saja. Jadi, jika berpapasan dengan kendaraan lain, truk harus berhenti. uniknya jika berpapasan dengan truk atau Hartop ataupun sepeda motor, supir truk ini akrab dengan pengemudi yang ditemuinya di jalan.Tebersit ketakutan dihati saya melihat rute truk ini, terlebih ketika truk bergoyang-goyang hebat takkala melintasi jalan yang berbatu. diperjalan itu saya banyak beristigfar karena takut.
Udara semakin dingin karena kami mengira embun sudah mulai turun. Saya dan Syarief diterjang oleh kabut itu di atas truk sampai menggigil. Saat berhenti diperjalanan, willy memberikan jaketnya kepada dan lekas saja tangan syarief menarik jaket itu untuk menutupi kepala kami berdua. Anehnya ditengah dingin seperti itu saya mengantuk dan syarief sudah tidur terlebih dahulu di atas truk. Sampai akhirnya kami tiba di desa Ranu Pani, kaki gunung semeru. Kami diturunkan dengan keadaan menggigil ditempat para pendaki bermalam sebelum mendaki Gunung Semeru.
Jika kami melihat medan yang dilalui menuju Ranu Pani, saya beruntung karena tidak menggunakan ojek. Pasalnya, track yang dilalui sulit, selain itu kami tak membayangkan apa jadinya tubuh kami jika menaiki ojek dengan kondisi jalanan dan cuaca yang ada. Selain itu kami merasa kasihan kepada tukang ojek di Tumpang jika mereka mengantarkan kita. Meski uangnya Mahal, tetap saja akan menyiksa kami dan tukang ojek itu.
Berdasarkan cerita supir di perjalanan, Kami pun tahu, ternyata supir itu
adalah bos sayuran di Ranu Pani, ia pun memiliki Hartop untuk disewa dan banyak usaha lain yang ia geluti. Rumah supir itu pun banyak. Lalu kami
diinapkan dirumah orang tuanya dan diberi makan gratis. Kami senang bukan kepalang meski dengan lauk yang
sederhana. Makanan itu sungguh berarti saat udara di sana yang begitu dingin, perut lapar dan kondisi keuangan yang tiris. Setelah itu supir truk itu kembali kerumahnya, dan meninggalkan kami
di rumah orang tuanya.
Dalam kedinginan yang menusuk kulit, kami
diajak menghangatkan tubuh diperapian oleh orang tua supir itu. kami berbincang-bincang
dengan orang tua supir truk itu yang ditemani pemuda setempat. Perbincangan
menggunakan bahasa jawa dan syarief
adalah penerjemah ke bahasa Indonesia karena hanya dia yang pandai berbahasa
jawa. Berdasarkan cerita pemuda setempat, Kami pun akhirnya tahu jika orang tua supir truk itu adalah Kuncen Gunung
Semeru. Dia pun yang membuka jalan untuk para pendaki dan dia pulalah yang
mengevakuasi mayat Soe Hok Gie dan ia juga menceritakan penyebab
meninggalnya Soe Hok Gie.
Dalam perbincangan itu, ia memberi
banyak wejangan bila ingin mendaki dan menceritakan banyak hal yang terjadi di Gunung Semeru, tak
tekecuali hal yang tak masuk akal. Ia juga menceritakan jika ia pernah hanya membawa
uang ribuan rupiah menuju Jakarta,sedangkan pulangnya diantar dengan pesawat. Hebat. Kami kagum akan ceritanya. Kakek
itu bernama Ki Ageng Tumari bila melihat foto dan nama yang tertera di foto
itu. Di dekat foto itu pun terdapat piagam yang diberikan oleh Pecinta Alam UI
dan malang kepadanya karena telah mengevakuasi Soe Hok gie. Perjalanan yang bertujuan menuju Gunung Bromo, nyatanya
malah tersasar ke Kaki Gunung Semeru.
2 Comments
keren bang ceritanya, walaupun ane belum baca full .. salut dah :D
ReplyDeleteTerima Kasih bang, udah mau mampir hehehehe
Delete