Kali Hitam
Aku akan mewariskan sebuah cerita
kepada anakku setelah aku diwariskan ayah. Lalu anakku akan menurunkan cerita
ini kepada anaknya. Dan cucuku mungkin akan menceritakannya lagi kepada anaknya,
dan begitu seterusnya sampai tak ada lagi mulut yang menceritakannya.
Mungkin nanti cerita ini akan
menjadi mitos belaka. Tak akan menjadi pelajaran sejarah di sekolah, tak dikaji
dalam forum diskusi, dan tak dibicarakan di warung kopi sebagimana cerita
tentang heroiknya perjuangan bangsa. Atau mungkin nanti akan sebaliknya,
menjadi materi dalam pelajaran sejarah, menjadi bahan kajian, pembicaraan, atau
hipotesis bagi para ahli penelitian.
Ini hanya cerita sebuah kali.
Kali yang airnya begitu hitam pekat dan berbusa ditepinya. Dan banyak orang
mengira kali ini memang tercipta seperti itu. Airnya tak mengalir, sunyi. Dalam
kesunyian itu kadang terdengar suara-suara teriakan penderitaan. Hingga warga
segan untuk sendirian di dekatnya karena bisa menaikkan bulu kuduk.
Entah seberapa dalam kali ini,
tak ada yang tahu. Apa saja yang berada didalamnya pun orang tak tahu,
mungkinkan ada segerombolan ikan di sana atau makhluk air lainnya.
Jangan-jangan memang ada makhluk air, makhluk yang serba hitam, hingga tak
terlihat, tapi entah, tak ada yang tahu karena memang banyak dari warga yang
tak mau tahu. Kegelapan membutakan apa saja.
Setiap benda yang terendam di
sana beberapa saat kemudian akan menjadi hitam. Daun kering yang jatuh, lalu
menghitam, rerumputan ditepiannya berwarna hitam. Bahkan kulit yang terendam
disana juga menjadi hitam seperti terkena larutan tinta dan sulit dibersihkan.
Kali itu sungguh tak berguna
untuk kehidupan sehari-hari. Tak bisa digunakan mencuci, tak bisa digunakan
untuk minum, apalagi untuk objek wisata. Ini hanya sebuah kali yang, kupikir
gunanya hanya untuk memberi nama kampungku ini. kampung kali hitam di daerah
terpencil.
Ketika
aku masih kecil, aku selalu takut melihat kali ini. kali yang begitu suram
untukku karena kali ini seperti memanggilku untuk mendekat. Aku takut air yang
hitam. Namun ketika ayah bercerita tentang kali ini, aku menjadi rutin
mengunjunginya. Bahkan aku terkadang betah berlama-lama sendiri.
***
Ayahku mengatakan bahwa ia juga
diceritakan oleh ayahnya, dan kakekku diceritakan oleh ayahnya pula. Setelah
ayahku bercerita sebelum meninggal, Aku penasaran dengan ceritanya. Mungkinkah
kali yang hitam ini menyimpan keindahan. Karena hampir semua orang di sini
mengira bahwa kali ini memang tercipta sebagai kali hitam. Dan ketika aku
mendekat pada senja hari, seketika itu pula aku melihat bagaimana anak kecil
sedang bermain perahu getek menyusuri
kali. Perahu yang terbuat dari batang pohon pisang tersusun.
“Ah, mana mungkin ada ada
anak-anak yang berani bermain di sini,” pekikku, “Apa mereka tak takut kulit
mereka menjadi hitam seperti terkena larutan tinta. Apa mereka tak dimarahi ibu
mereka jika ibu mereka melihat kulit anaknya menghitam.” Aku masih heran
melihatnya. Dan disana mereka bermain dengan gembira. Satu anak kecil memegang
bambu panjang untuk mendorong getek
itu berjalan, dan yang lain terkagum menikmati petualangan mereka.
Aku memperhatikan mereka masih
dengan terheran-heran sampai mereka menghilang seiring senja yang mulai
menghitam. Alampun menjadi gelap. Aku pun berbalik menuju rumah dengan
bayang-bayang itu semua. Apakah itu hanya ilusi. Namun itu semua terlihat jelas
di hadapanku.
Setibanya aku dirumah, aku
melamun, membayangkan itu semua. Dan hanya itu yang kulamunkan. Aku belum bisa
memejamkan mata malam itu, bukan belum bisa tapi tak ingin memejamkan mata. Aku
tak perduli bahwa hari telah malam dan aku musti tidur. Aku masih asik
menerawang itu semua dari permulaan malam hingga malam berakhir, dan fajar
merekah dari ufuk timur.
Aku segera bergegas menju kali
itu saat hari mulai terang dengan penasaran yang menggebu-gebu. Dan ketika aku
tiba disana, ternyata kali itu masih hitam, Tak ada sesiapa. Kala itu aku tak
melihat keindahan. Aku setengah berlari menelusiri kali ini dari ujung sampai
ujung, tapi hasilnya nihil. Akhirnya aku paksa diriku untuk menerima bahwa
senja lalu aku hanya berhalusinasi, berfantasi saja karena cerita ayah yang
seperi menceritakan surga dunia.
Nafas kutarik dalam-dalam lalu kuhembuskan
perlahan. Akupun berjalan pulang dengan hati begitu kecewa. Tapi aku mencoba
untuk ikhlas. Ketika aku sedang berjalan, kulihat beberapa ibu-ibu berjalan
bersama sambil mengobrol. Mereka berjalan dengan bertelanjang kaki, sambil
membawa sejenis ember yang berisi pakaian. “Apakah mereka ingin mencuci di kali
yang hitam ini?” tanyaku membatin.
Kuikuti mereka dan benar saja.
Mereka hendak mencuci pakaian disana. “Bodoh sekali mereka, mencuci di air yang
hitam,” ucapku. Namun kulihat mereka mencuci sambil bercanda. “Bergembira
sekali mereka.”
Kusambangi mereka disana. “Bu,
apakah ibu tak takut kulit ibu menjadi hitam seperti terkena larutan tinta?”
Tapi sepertinya mereka tak mendengar apa yang kukatakan. Mereka tetap saja
melakukan pekerjaannya. Apa mungkin mereka tak melihatku. Ya mungkin saja
begitu. Aku meresa aku adalah makhluk halus bagi mereka, tak terlihat, tak
didengar, tak digubris. Tapi aku tak perduli. Setelah itu aku duduk di dekat
kali itu, memandangi apa saja dan siapa saja.
Tak jauh dari sana, anak-anak
kecil kulihat sedang bermandi ria bersama teman-temannya. Anak-anak itu
terkadang terjun dari dahan pohon. Mereka mandi tanpa menggunakan satu helai
benangpun yang menutupi tubuhnya. Anak-anak itu asik bermain dan ibunya bergembira
mencuci. “Tapi mengapa mereka tak takut kulit mereka menghitam seperti terkena
larutan tinta.”
Ketika matahari mulai terik,
beberapa anak muda datang membawa alat memancing. “Apakah sungai ini ada
ikannya?” tanyaku sendiri. Ikan apa yang berada di dalamnya. Mungkinkah ikan
yang mempunyai rupa dan warna yang aneh. Atau mungkin mereka ingin memancing
ikan sapu-sapu yang tugasnya hanya menyedor kotoran.
Pemuda itu mencari tempat-tempat
strategis dibawah pohon. Aku kaget dari mana datangnya pohon yang rindang itu.
Padahal di bantaran kali hitam tak ada pohon yang hidup. Banyak keanehan yang
ku lihat disini.
Tiba-tiba anginpun begitu
semilir, menyejukan hati dan menentramkan. “sejuk sekali di sini,” ucapku
membatin. Selain pemuda yang memancing, dibawah pohon yang rindang kulihat ada
lelaki paruh baya yang sedang tidur begitu nyeyak tak takut kulitnya menghitam
seperti kena larutan tinta karena tercebur.
Sampai sorepun tiba, aktifitas
masih belum berhenti. Kulihat anak-anak berenang disana, anak-anak yang senja
kemarin sedang menyusuri kali hitam ini. Betapa indah sekali semua yang tampak
di kali hitam ini. Begitu juga untuk esok hari, lusa dan seterusnya. Sungguh,
ayahku tak berbohong menganai surga dunia ini. ketidak percayaanku akan
keindahan kali hitam ini akhirnya lenyap.
Pada suatu hari, aku memberanikan
diri bercerita tentang kali hitam itu kepada orang lain. namun mereka semua malah
menertawai aku. Aku sudah coba membuat agar mereka mengerti, tapi tetap saja.
“Kau gila, mana mungkin kali
hitam itu indah seperti yang kau ceritakan,” Ucap mereka, “kau tersambet setan
kali hitam ruapanya, sampai kau mengarang cerita seperti itu. kau gila.”
Lalu aku menceritakan, bagaimana
awalnya aku melihat itu semua di kali hitam. Aku sungguh melihat itu semua
setelah diceritakan ayah, ayahkupun sepertiku melihat itu semua setelah
diceritakan kakek. kakekku pun begitu. kecuali ayah dari kakek. Ia bahkan
menjadi salah satu orang yang merasakan segarnya air kali hitam itu.
Ayah dari kakekku bercerita,
dahulu kali ini begitu jernih. Hampi selalu ada aktifitas, kecuali saat malam. Kali
ini tak dalam, airnya bening hingga bisa langsung diminum. Anak-anak berenang
tanpa rasa takut. Pemancing begitu bersemangat memancing karena banyak ikannya.
Dan warga kampung biasanya menghabiskan senja di pinggir kali ini sambil
beramah-tamah antara satu dengan yang lain.
Itu semua terjadi sebelum sebuah
pabrk jeans dibangun. Sebelum pabrik
itu mencelupkan bahan-bahannya untuk membuat berbagai model celana. Pabrik ini
tak mempunyai alat pengolah limbah sehingga limbah-limbah itu mengalir langsung
tanpa diolah terlebih dahulu.
Awalnya keberadaan pabrik itu
bagus karena bisa menarik para pemuda pengangguran di desa terpencil ini. Tapi seiring
berjalannya waktu, pabrik itu mencemarkan kali. Orang-orang yang menggunakan
air itu terkena penyakit. Pabrik itu di demo habis-habisan oleh warga, namun dihadang
oleh pemuda kampung yang mejadi buruh disana karena pabrik itu menjadi sumber
penghasilannya. Apabila pabrik itu ditutup, banyak warga kampung yang harus
kehilangan pekerjaan.
Akhirnya pabrik ini tak ditutup,
meski ditutup pun air kali ini tetap saja hitam. Dulu kali ini tak sehitam
sekarang namun semakin berganti generasi, kali ini menghitam, dan aktifitas di
kali ini pun berakhir. Setelah begini, pabrik juga sudah tak bisa lagi
beroperasi, hingga pabrik itu tutup dengan sendirinya. Kepergian pabrik itu
meninggalkan seperti yang sekarang kita rasakan.
Oleh karena itu, aku akan menceritakannya
kepada anakku agar anakku bia merasakan keindahan di kali hitam ini, meski
hanya sebuah fantasi. Lalu anakku akan menurunkan cerita ini kepada anaknya.
Dan cucuku mungkin akan menceritakannya lagi kepada anaknya, dan begitu
seterusnya sampai tak ada lagi mulut yang bercerita keindahan kali ini.
Mungkin nanti cerita ini akan
menjadi mitos belaka. Tak akan pernah jadi pelajaran sejarah. tak dikaji dalam
forum diskusi, dan tak banyak dibicarakan orang. Atau mungkin nanti akan
sebaliknya, atau bakan menjadi hipotesis bagi para ahli penelitian.
18/02/2012 20:25
2 Comments
Sama halnya yang terjadi pada kebanyakan aliran kali yang ada di sini, di Teluk Betung, Bandar Lampung. Semuanya sudah hitam dan kering. Namun ini bukan ulah pabrik, tapi kebiasaan warga membuang sampah di kali. Miris sekali. Semakin sulit melihat pemandangan aliran air jernih, kecuali di tempat rekreasi. Tak ada lagi keindahan yang bisa diwariskan. Kecuali sebuah imaji. Nice story :) Salam untuk teman-teman nstitute yah.
ReplyDeletewahh, makasih banget udah berkunjung ke sini hehe.
Deleteiya nanti disalamin