Bukan Gaya, Tapi Skill
Ketika berada di ruang kelas 703 kalau tidak salah ingat, teman saya bercerita tentang tetangga dan juga teman mainnya. Diceritakan olehnya jika terjadi keributan antara teman rumahnya itu (kita sebut saja si A) dengan ayahnya sehingga terdengar sampai keluar.Keributan itu pun sampai “mengundang” ayah teman saya untuk ikut campur karena keributan itu bisa dianggap lumayan parah. Ada kata-kata yang terucap oleh si A yang bisa dianggap tak patut di katakan dari seorang anak kepada ayahnya dalam budaya timur.
Karena sudah
dinilai tak lumrah, ayah teman saya pun akhirnya menarik si A kerumahnya untuk
dipisahkan. Ia menanyakan perihal masalah yang terjadi antara si A dan ayahnya.
Si A pun menceritakan bila dia dimarahi oleh ayahnya karena ia baru saja
menambah rajah tato di salah satu bagian tubuhnya.
Saat si A
ditanya apa alasannya menambah tatto dibagian tubuhnya? Si A menjawab banyak
hal namun ada satu hal terucap “bla,
bla,bla,..ini buat modal nge-band, dan bla, bla, bla..”
“ini nih
jeleknya orang Indonesia, kebanyakan gaya. Mestinya skill dulu yang digedein. Klo
udah punya skill tinggi, lu mau gaya kaya apa juga bodo,” ucap ayah teman saya.
Setelah berdebat
panjang dengan ayah teman saya. Si A pun menangis dan, akhirnya meminta maaf.
Ribut seperti
itu sudah beberapa kali terjadi menurut carita teman saya. Dimulai saat si A
membuat tato pertamanya yang akhirnya diketahui saat si A sedang tidur kalau
saya tak salah ingat. Ia pun dimarahi. Tetapi si A malah menambah satu demi
satu rajah tubuhnya. Awalnya rajah itu tak “keluar” tetapi lama-lama “keluar-keluar.”
Sampai akhirnya kemarahan besar itu
terjadi
Bila diperhatikan,
tidak salah juga apabila orang tua si A memarahi anak itu. Mungkin dia “shock”
melihat anaknya yang tiba-tba menambah tatto di tubuhnya. Apabila orang tua si
A memandang tatto dari “kaca mata” agama maka hal itu jelas dilarang. Karena
dalam isi kitab suci salah satu agama terdapat ayat yang melarang untuk merubah
bentuk tubuhnya dalam hal ini merubah bentuk kulit dengan tatto.
Disamping itu, Ada
faktor psikologis dari lingkungan yang mempengaruhi pandangan ayah si A
tersebut. Seperti stigma negatif orang yang mempunyai tato. Misalnya orang yang
mempunyai tato merupakan kriminal, meski tatto itu bukan merupakan suatu tolak
ukur untuk seseorang yang berbuat jahat.
Bila
ditinjau, secara etimologi, tatto itu berasal dari kata Tahitian / Tatu, yang
memilki arti menandakan sesuatu. Bila dilihat dari sejarahnya rajah tubuh
sudah dilakukan sejak 3000 tahun SM(sebelum Masehi). Tato ditemukan untuk
pertama kalinya pada sebuah mumi yang terdapat di Mesir. Konon hal itu dianggap
yang menjadikan tato kemudian menyebar ke suku-suku di dunia, termasuk salah
satunya suku Indian di Amerika Serikat dan Polinesia
di Asia, lalu berkembang ke seluruh suku-suku dunia salah satunya suku Dayak di
Kalimantan.
Dari arti menandakan
tubuh itu bisa terdapat berbagai macam makna didalamnya. Berbeda makna mengenai
tatto antara satu daerah dengan daerah lain Seperti misalnya di Indian, melukis
tubuh/ body painting dan mengukir kulit, dilakukan untuk mempercantik
(sebagai tujuan estetika) dan menunjukkan status sosial.
Atau Di Borneo (Kalimantan), penduduk asli wanita disana menganggap bahwa tato
merupakan sebuah simbol yang menunjukkan keahlian khusus.
Sekarang, banyak
yang berpendapat Tato adalah bagian dari seni, bukan lagi untuk dunia kekerasan
dan kriminalitas. Tato sebuah ajang ekspresi seseorang, baik si artist (pembuat
tato) atau pecinta tato sendiri. Layaknya lukisan, tato sendiri mempunyai makna
dibalik sebuah gambarnya.
Nah, dari
sejarah itu tak ada hubungannya antara tatto dengan kriminalitas. Mungkin karena
pelaku kejahatan banyak yang menggunakan rajah ditubuhnya sehingga tatto itu
mempunyai definisi negatif di dalam masyrakat.
Dari stereotipe
itu, bila dikaitkan dengan ekonomi, suatu perusahaan atau pemberi kerja formal banyak yang tak mau menerima
pegawai yang mempunyai “gambar” di tubuhnya itu. hal itu tak bisa lepas dari
label masyarakat tentang tatto itu sendiri. Karena tempat pemberi kerja tidak
mau mengambil resiko dengan memasukannya. Mereka tak mau institusinya menjadi
buruk karena mereka menganggap bagus-jeleknya lembaga itu tergantung kepada sumber
daya manusia yang ada di dalamnya. Setiap perusahaan juga bertujuan untuk untuk
going concern. mungkin wajar bila manajer berhati-hati dalam merekrut pegawai.
Sekali
lagi, meskipun tak semua orang bertatto itu kriminal dan orang yang tak betatto
itu tidak kriminal. Itu semua tergantung dari setiap individu itu sendiri. Mungkin
karena orang tua si A itu sangat sayang kepadanya maka ia menginginkan anaknya
sukses di masa depan dengan bekerja. Dan tak dipandang buruk oleh orang lain
dari label tatto yang ada.
Namun tidak bisa kita sangkal, Banyak orang-orang yang bertato yang sukses seperti menjadi
wirausaha, pesepak bola atau artis. Ada hal menarik disni. Si A ingin menjadi
artis atau musisi dengan dengan modal tatto. Tak ada yang salah disini, itu hak
siapa pun. Namun bukankah modal untuk menjadi artis atau musisi salah satunya adalah
skill. Paras juga berpengaruh namun bila tak ada skill, maka paras tak akan ada
apa-apanya.
Bisakah dibayangkan bila Travis Barker, drummer Blink 182 tidak mempunyai skill yang mumpuni? Tidak mungkin ia bisa terkenal sampai di seluruh dunia. bukan itu saja, cara berpakaian dengan celana "melorot"nya pun banyak ditiru anak muda disuluruh dunia. Cirikhas travis bermain drum pun banyak menjadi inspirasi musisi indonesia seperti Eno (Netral) atau drummer T.R.I.A.D. mungkinkah bisa sukses bila si Travis tidak punya kemampuan dibidangnya.
Bukan hanya untuk mejadi artis, setiap pekerjaan apapun yang
dibutuhkan bukankah kemapuan? bukan bergaya seolah-olah mampu tapi ternyata
tidak mampu.
Ada beberapa
musisi atau artis banyak yang menyinggung orang yang terlalu banyak gaya tapi tak
ada kemampuannya. Sebut saja Saykoji dengan lagu “so what gitu loh” yang
populer di masanya. Bila didengar liriknya “Jadi bokap lu kaya, nyokap lu juga kaya,bisa ngasih duit biar
elo bisa begaya, Supaya kaya. rapper yang tajir dan berduit
padahal nggak bisa ngerap bisanya Cuma suit”. Lirik dengan gaya
satir. Mengusik orang yang terlalu banyak bergaya tapi tanpa bisa apa-apa.
Selain
itu, lagu “loe toe ye” karya band rock terkenal, Rif. Itu juga merupakan
sindiran telak bila ditengok liriknya “Lo toe gaya lo emang keren, lo tu
laga lo juga keren, lo tu tampang lo keren tapi otak lo kagak lo pake, Lo tu
gaya lo emang keren, lo tu laga lo juga keren, lo tu tampang lo keren Tapi nafsu
lo yang lo pake”
Mungkin
dari semua itu, semestinya kita tak boleh lupakan jasa orang tua, meskipun
orang tua sering berbeda pendapat dengan kita. Itu semata mereka ingin seorang
anak bahagia di masa depan. Alangkah baiknya terlebih dahulu memikirkan dan
mendiskusikan kepada orang tua. bukan berdasarkan Nafsu. Beri dia alasan yang baik tentang apa yang
kita inginkan. Dia akan menerima bila menurutnya itu akan baik untuk masa depan
kita
Selain itu
menurut saya, dalam hal ini bukan saya menasihati orang tua, tapi saya mengemukakan apa yang saya rasakan sebagai
anak. Ini bisa disebut curahan hati saya. Mungkin Orang tua boleh membebaskan
anak-anaknya berekspresi. Awasi anaknya. Bila mulai berlebihan, maka arahkan. Biarkan
anak memilih apa yang disukainya. Beri penjelasan tentang suatu hal, tentang
pilihan si anak, kelebihan dan kekurangannya, agar dia bisa tau disetiap
langkahnya, agar dia mengerti. Luruskan apabila dia mulai melenceng. Kesuksesan
bukan hanya dalam satu bidang saja, masih banyak bidang lain yang bisa membuat
sukses.
Mengutip kata-kata kahlil gibran “Carilah
nasihat dari orang tua karena matanya telah melihat wajah tahun demi tahun dan
telinganya telah mendengar suara kehidupan.”
1 Comments
apapun gaya nya , gue suka blog ini :D
ReplyDelete